Almarhum Ibu adalah api bagiku, sedangkan aku adalah sebatang kayu kering. Setiap kali sang api menyalakan kobarnya, maka sang kayu pun terbakar. Itulah ibuku. Sosok yang selalu mampu membakar semangat dalam diriku.
Ibu tak pernah berhenti memacu semangatku dalam meraih asa. Setiap kali aku merasa tidak akan mungkin mencapai keberhasilan, beliau selalu hadir menyemburkan api nasihat yang kembali membakar semangatku.
Almarhum Bapak laksana pohon rindang, sedangkan aku adalah tumbuhan mungil yang bernaung di bawah rimbun daunnya. Berbekal senyumnya yang tenang, beliau mampu menghapus lara hatiku.
Setiap aku sedih atau kecewa, cerita saat aku baru saja hadir di dunia menjadi hidangan utama Bapak untukku. Cerita yang sangat kugemari sehingga aku pun dapat melupakan duka dengan senyum gembira.
Thursday, August 30, 2007
Thursday, August 23, 2007
Puisi Doa Bertajuk Cinta
Bapak, tatap matamu
seteduh awan di angkasa biru
Bapak, tepukan hangat di pundak ini
hentikan tangis yang tak mau henti
Bapak, jalan yang tlah kita lalui
terkenang slalu di hati ini
Setiap mengenang tentangmu
sederet puisi tertuang dalam kalbuku
Saat mengingat dirimu
hadirlah syair indah di setiap anganku
Bila kumerindukanmu
kan kukirim kisah ke negeri mimpiku
Bapak, setiap saat kuberdoa
kelak kita kan berjumpa
Bapak, setiap waktu kupanjatkan doa
semoga kita dapat bersua
Kan kurangkai doa selalu
di kebun surga kita bertemu
seteduh awan di angkasa biru
Bapak, tepukan hangat di pundak ini
hentikan tangis yang tak mau henti
Bapak, jalan yang tlah kita lalui
terkenang slalu di hati ini
Setiap mengenang tentangmu
sederet puisi tertuang dalam kalbuku
Saat mengingat dirimu
hadirlah syair indah di setiap anganku
Bila kumerindukanmu
kan kukirim kisah ke negeri mimpiku
Bapak, setiap saat kuberdoa
kelak kita kan berjumpa
Bapak, setiap waktu kupanjatkan doa
semoga kita dapat bersua
Kan kurangkai doa selalu
di kebun surga kita bertemu
Seuntai Kenangan, Sebaris Doa
Mengenang kasihmu, Ibu,
bagai arungi samudra cinta tiada bertepi
laksana sinar mentari sepanjang waktu
timbulkan asa yang sempat pergi
Mengingat senyummu, Ibu,
bagai hawa sejuk dini hari
laksana taman indah dalam jiwaku
kan kusiram slalu di hati ini
Segala tentangmu, Ibu
bagai sekuntum mawar penuh diri
semerbak harum kesuma bungaku
terpatri indah di sudut ruang sanubari
Sebaris doa untukmu, Ibu,
bidadari mulia di kalbu diri
hanya satu harap dariku
bertemu kita di taman surgawi
bagai arungi samudra cinta tiada bertepi
laksana sinar mentari sepanjang waktu
timbulkan asa yang sempat pergi
Mengingat senyummu, Ibu,
bagai hawa sejuk dini hari
laksana taman indah dalam jiwaku
kan kusiram slalu di hati ini
Segala tentangmu, Ibu
bagai sekuntum mawar penuh diri
semerbak harum kesuma bungaku
terpatri indah di sudut ruang sanubari
Sebaris doa untukmu, Ibu,
bidadari mulia di kalbu diri
hanya satu harap dariku
bertemu kita di taman surgawi
Thursday, May 31, 2007
Pada Suatu Hari
Sengaja tulisan ini kuberi judul "Pada Suatu Hari". Karena pada suatu hari yang telah mengingatkan aku tentang arti rasa berterimakasih. Suatu pengalaman yang sangat sederhana
tetapi tak mungkin aku melupakannya seumur hidupku.
Menjelang siang, setelah aku memasukkan beberapa surat lamaran kerja, aku bertolak menuju rumah seorang kawan dekatku semasa kuliah. Aku rindu padanya. Maklumlah sudah beberapa bulan kami tidak berjumpa.
Sesampainya di sana, aku disambut dengan hangat. Mulailah temanku itu mengeluarkan berbagai macam kue dan segelas es sirup yang segar. Ia tampak begitu gembira dengan kedatanganku. Tetapi yang tidak kusangka sedikit pun ibunya menghampiri dan mengucapkan terima kasih padaku atas bantuan yang pernah kulakukan. Beliau mengatakan bahwa aku sampai repot mengusulkan untuk mencari taksi supaya temanku yang sakit itu bisa segera pulang.
Mendengar penuturan yang amat tulus itu, aku merasa sangat malu. Bagaimana tidak? Padahal aku hanya mengusulkan pada teman-teman untuk mencari taksi. Sedangkan saat itu aku hanya menemani kawanku itu. Teman-teman lainlah yang mencarikan taksi.
Ya, aku malu pada diriku sendiri. Yang tidak jarang membuang waktu untuk berpikir hanya untuk mengucapkan terima kasih. Sejak saat itu aku bertekad tidak kelu lagi lidah ini berucap, "Terima kasih."
tetapi tak mungkin aku melupakannya seumur hidupku.
Menjelang siang, setelah aku memasukkan beberapa surat lamaran kerja, aku bertolak menuju rumah seorang kawan dekatku semasa kuliah. Aku rindu padanya. Maklumlah sudah beberapa bulan kami tidak berjumpa.
Sesampainya di sana, aku disambut dengan hangat. Mulailah temanku itu mengeluarkan berbagai macam kue dan segelas es sirup yang segar. Ia tampak begitu gembira dengan kedatanganku. Tetapi yang tidak kusangka sedikit pun ibunya menghampiri dan mengucapkan terima kasih padaku atas bantuan yang pernah kulakukan. Beliau mengatakan bahwa aku sampai repot mengusulkan untuk mencari taksi supaya temanku yang sakit itu bisa segera pulang.
Mendengar penuturan yang amat tulus itu, aku merasa sangat malu. Bagaimana tidak? Padahal aku hanya mengusulkan pada teman-teman untuk mencari taksi. Sedangkan saat itu aku hanya menemani kawanku itu. Teman-teman lainlah yang mencarikan taksi.
Ya, aku malu pada diriku sendiri. Yang tidak jarang membuang waktu untuk berpikir hanya untuk mengucapkan terima kasih. Sejak saat itu aku bertekad tidak kelu lagi lidah ini berucap, "Terima kasih."
Elegi Cinta Sang Mentari
Bila tiba saatnya
sang Rembulan kembali mendambaWahai sang Mentari
kuingin lagi teman sejati
Mentari terdiam
menatap Rembulan remuk redam
Mengapa kau lakukan ini
bukankah aku setia menerangi
Rembulan meratap
sinarnya redup penuh harap
Mentari pun tersadar
cahyanya tlah memudar
Sekian lama kita bersama
mengapa ingin kau lupa
Tetapi Rembulan tak mau mengerti
walau cahyanya dari Mentari
Meski ia tlah purnama
atas sinar Mentari setia
Rembulan tlah jatuh cinta
kala menatap Dewi Surya
Kendati dia tlah purnama
sebab kasih Mentari setia
Subscribe to:
Posts (Atom)